Emang Nilai Tinggi Sepenting Itu?
July 1, 2023
Kemarin saya menemukan sebuah artikel inggris yang quite interesting yang berjudul “ What Straight-A Students Get Wrong” di New York Times. Bagi orang yang sebentar lagi masuk kampus dan sudah ada niatan pengen dapet nilai bagus di kelas, saya pastinya tertarik topik seperti kenapa orang yang dapet nilai A melulu itu ada salahnya dan kenapa kesuksesan di sekolah itu tidak selalu berkaitan dengan kesuksesan di dunia setelah kuliah. Dan mungkin ini juga menjelaskan kenapa orang-orang yang berpengaruh di dunia ini tidak terlalu memprioritaskan nilai sempurna di sekolahnya.
Let’s start with a story from the article shall we?
Mr.Grant, penulis artikel tersebut, adalah guru di Wharton Business School di Pennsylvania. Dia di datangi oleh muridnya yang duduk dan tiba-tiba menangis di kantornya. Saat Mr.Grant mencari alasan di pikirannya kenapa muridnya seperti itu muridnya bilang bahwa dia baru pertama kali dapet nilai A-minus dengan suara yang bergetar.
Belakangan ini banyak orang yang jatuh ke lubang “perfectionism”. Mungkin dengan IPK yang sempurna, kita bisa menunjukan bahwa kita punya kecerdasan dan kegigihan yang diperlukan untuk sukses di karier kita nanti. Tapi buktinya bukan seperti itu. Keunggulan akademik bukanlah prediktor yang kuat untuk keunggulan di karier kita. There is a research yang menunjukan bahwa korelasi antara nilai dan kinerja kerja di tahun pertama setelah lulus kuliah itu tidak terlalu signifikan dan setelah 2 atau 3 tahun lulus dari kuliah, korelasi tersebut hampir tidak meninggalkan bekas.
Academic grades rarely assess qualities like creativity, leadership and teamwork skills, or social, emotional and political intelligence
Mr.Grant bilang bahwa nilai akademik jarang menilai kualitas-kualitas sosial kita. Walaupun Straight-A students memang pintar menghafal pelajaran dan menumpahkannya di ujian, Tapi secara sosial mungkin mereka “kurang” karena waktu yang dipakai belajar lebih banyak daripada waktu untuk bersosialisasi.
Orang-orang yang tidak ingin nilainya ternodai biasanya cenderung konservatif dan tidak mau mengambil resiko untuk belajar hal lain. Padahal taking risk to learn something new diluar bidangnya bisa menambah wawasan yang nantinya bisa di hubungkan ke bidang kita sendiri which can lead to innovation in our own fields. Lagipula sesekali mendapatkan nilai B ataupun C because you learn something outside your field won’t hurt you terminally right?
Mungkin ini menjelaskan kenapa J. K. Rowling lulus dari University of Exeter dengan nilai rata-rata C dan Steve Jobs yang menyelesaikan High School nya dengan GPA 2.65 ( maximum nilai GPA adalah 4.0). Dan lagian juga nowadays employer hanya menggunakan IPK sebagai filter awal saja, so getting a 4.0 isn’t a necessary. Malahan pengalaman seperti magang dan berorganisasi or other non-academic activities itu lebih dipertimbangkan oleh employer.
But maybe Mr.Grant overgeneralized tentang straight-A students karena di beberapa tempat ada orang yang memang pintar di akademik maupun non-akademiknya. Ada juga orang yang memang membutuhkan nilai yang tinggi karena scholarship. Atau mungkin menjadikan nilai sebagai tolak ukur untuk self-improvement (walaupun ujung-ujungya bisa pusing sendiri kalau nilainya tiba-tiba jelek). Intinya menjadi straight-A students isn’t always a bad choice tapi perlu di ingat bahwa terkadang berprestasi rendah di sekolah bisa menyiapkanmu untuk menggapai yang lebih tinggi di kehidupan.